Museum sayuran pertama di Cina

Harian Xinhua (19/4/2010) memberitakan bahwa pemerintah Cina membuka museum sayuran pertama di Cina.

Museum sayuran pertama di Cina ini dibuka di bagian timur Provinsi Shandong  dengan luas  3000 meter persegi.  Museum ini terletak di Shouguang City, Provinsi Shandong, yang dikenal sebagai “Kota Sayuran di Cina”. Seluas 56.000 hektar dari total luas wilayah ini (94.000 hektar) ditanami sayuran.Menurut pemerintah setempat, pada tahun 2009 kota Shouguang menghasilkan sekitar 4 juta kilogram sayuran berkualitas tinggi.

China Shouguang Vegetable Museum memperagakan hubungan antara perkembangan pertanian dengan masyarakat. Di museum ini diperagakan peralatan pertanian, aneka spesimen dan lukisan mulai peradaban Longshan (dari masa 2340 SM – 1940 SM) hingga ke zaman modern.
Di museum ini juga terdapat fosil tumbuhan berumur 130 juta tahun dan aneka perkakas yang dipakai untuk bertanam sayuran pada masa dinasti Han (sekitar 2100 tahun yang lalu).

Miranda Gultom: Otak Modernisasi Museum Bank Indonesia

Minggu, 17-01-2010 12:12:34 oleh: Brillianto Ksatrya Jaya
Museum Bank Indonesia (www.jalanjajahemat.com)

Barangkali tak banyak orang tahu, siapa otak di balik modernisasi museum Bank Indonesia (BI) yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 Juli 2009 lalu. Dia tak lain adalah Miranda Goeltom. Karena usaha beliau, museum BI jadi jauh lebih keren dari sebelumnya. Bahkan saat ini museum BI dianggap sebagai museum terbaik di Indonesia dan paling siap menghadapi ‘Tahun Kunjungan Museum 2010’ yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Ir. Jero Wacik, SE pada 30 Desember 2009 lalu.

Miranda Swaray Goeltom. Begitulah nama panjang wanita berdarah Batak kelahiran Jakarta, 19 Juni 1949 ini. Selama ini, ia memang dikenal sebagai Deputi Gubernur BI yang cukup kontroversial. Betapa tidak, ia dianggap wanita ambisius yang menginginkan posisi tertinggi di BI. Bayangkan, sejak dikalahkan oleh Burhanuddin Abdullah yang meraih posisi Gubernur BI pada tahun 2003 sampai akhir masa jabatannya, Miranda tetap mengincar jabatan sebagai Gubernur BI. Namun di pemilihan berikutnya, ia kalah lagi dengan pesaing kuatnya: Boediono. Setelah Boediono maju dalam pencalonan wakil presiden bersama SBY, Miranda cuma mengisi posisi sebagai Pejabat Pelakasana Tugas Harian Gubernur BI.

Di luar sepak terjangnya di BI, Miranda adalah otak di balik konsep museum BI yang kini begitu modern dan bisa disejajarkan dengan museum-museum di luar negeri. Ia sangat serius menggarap museum BI. Saking seriusnya, ia membuat sebuah unit khusus di BI yang menangani museum BI ini. Di unit ini terdapat orang-orang yang sangat kompeten di bidangnya. Ada peneliti yang khusus mengumpulkan data-data dan sejarah tentang Bank Indonesia. Ada ahli komunikasi visual, dimana bertugas membuat visualisasi museum agar enak dinikmati, sehingga penggunjung betah. Ada pula para seniman yang merancang tata letak, diorama, patung-patung, serta instalasi yang ada di ruang pamer.

Hasilnya? Luar biasa! Menakjubkan! Kayaknya museum BI yang sangat siap menghadapi ‘Tahun Kunjungan Museum 2010’ ini. Bukan omong kosong, oleh Miranda, museum BI disulap menjadi museum yang terkonsep, menghibur, ada interaksi dengan penggunjung, nyaman, dan yang tak kalah penting, tidak berdebu dan WC-nya tidak jorok.

Kesungguhan wanita yang juga dikenal sebagai guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) untuk menjadikan museum BI “cantik”, berawal dari “provokasi” salah seorang direksi yang berada di lingungan BI. Ia bernama Poernomo yang saat ini menjadi Peneliti Sejarah Utama di Unit Khusus Museum BI.

“Sebelum direnovasi, saya bilang ke Ibu (Miranda-pen) begini: Ibu serius nggak mau menggarap museum?” ucap Poernomo seraya mengingat masa-masa awal sebelum renovasi dilakukan beberapa tahun lalu. “Ternyata Ibu marah dan meminta saya untuk menjadi Ketua tim renovasi museum BI”.

Menurut Poernomo, tidak semua pejabat bisa mampu melakukan sebagaimana Miranda lakukan, yakni “mempercantik” museum. Biar dikasih budget yang sama, sentuhan masing-masing orang pasti berbeda. Kata pepatah: man behind the gun. Benar juga sih. Yang terjadi kebanyakan dikorup dulu uangnya, baru merenovasi museum dengan sisa uang yang ada.

“Saya nggak pernah pusing dengan budget, karena bukan saya yang mengurus pengadaan barang di museum ini,” ujar Miranda. “Saya cuma punya konsep!”

Boleh jadi, konsep yang di otak Miranda luar biasa. Di luar dari kemampuannya di bidang hitung-menghitung uang, ia memiliki sense of art yang tinggi. Hal ini bisa dimaklumi, karena selama ini pergaulannya dengan seniman-seniman cukup intens.

“Saya beruntung punya orang-orang gila,” aku Miranda mengomentari orang-orang dari unit khusus museum BI yang ada di belakang konsepnya. “Saya salut dengan mereka. Di BI, unit yang ngurusin museum itu dianggap nggak elit. Kalo ngurusin moneter, baru dianggap elit. Siapa yang mau ngurusin museum? Makanya saya bilang, mereka itu gila. Dan saya bersyukur punya orang-orang gila kayak mereka”.

Kalo membicarakan soal budaya dan museum dengan Miranda, butuh waktu yang cukup lama. Soalnya, ia begitu antusias. Ia bisa berbicara A sampai Z. Nggak cuma memandingakan museum satu dengan museum lain, tetapi soal impiannya terhadap museum di tanah air.

“Saya sedih banget dengan kondisi museum di Indonesia,” ujar wanita yang setiap hari masih rajin jogging selama 45 menit dan bersepeda setiap Sabtu sepanjang 30 km ini. “Bayangkan, untuk menemukan canting (alat untuk membatik-pen) kuno, saya harus melihat di Singapura. Museum di Indonesia ini nggak punya.”

Ia sering mengusulkan pada Menteri Keuangan Sri Mulyani agar menyisihkan dana buat “mempercantik” semua museum di Indonesia. Bukan cuma “mempercantik”, tetapi mengembalikan benda-benda purbakala yang saat ini ada di museum-museum di luar negeri. Namun sayang, jawabannya selalu soal prioritas. Museum nggak termasuk prioritas utama di Indonesia ini, tetapi ditempatkan di paling buncit.

“Jadi wajar kalo kita melihat museum-museum yang ada di Indonesia ini seperti apa, ya nggak? Wong nggak jadi prioritas, kok?”

Itulah yang membuatnya cuma bisa geram dengan kondisi yang ada. Pada saya, Miranda sempat tercetus keinginannya buat mengurus museum yang ada di Indonesia ini. Buat saya, keinginanan Miranda sekali lagi patut diacungkan jempol. Saya yakin, hal itu bukan karena mengurus museum banyak uang atau seolah mengejar “kursi basah”. Tetapi lebih kepada kepeduliannya terhadap warisan bangsa, apalagi tahun ini sudah ditetapkan sebagai ‘Tahun Kunjungan Museum 2010’

Sejarah Perkembangan Museum di Indonesia

Saturday, 09 January 2010 05:11 rochtri

Pengertian tentang museum dari zaman ke zaman mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena museum senantiasa mengalami perubahan tugas dan kewajibannya. Museum merupakan suatu gejala sosial atau kultural dan mengikuti sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang menggunakan museum itu sebagai prasarana sosial atau kebudayaan.

Museum berakar dari kata Latin “museion”, yaitu kuil untuk sembilan dewi Muse, anak-anak Dewa Zeus yang tugas utamanya adalah menghibur. Dalam perkembangannya museion menjadi tempat kerja ahli-ahli pikir zaman Yunani kuna, seperti sekolahnya Pythagoras dan Plato. Dianggapnya tempat penyelidikan dan pendidikan filsafat sebagai ruang lingkup ilmu dan kesenian adalah tempat pembaktian diri terhadap kesembilan Dewi Muse tadi. Museum yang tertua sebagai pusat ilmu dan kesenian adalah yang pernah terdapat di Iskandarsyah.

Lama kelamaan gedung museum tersebut yang pada mulanya tempat pengumpulan benda-benda dan alat-alat yang diperlukan bagi penyelidikan ilmu dan kesenian, ada yang berubah menjadi tempat mengumpulkan benda-benda yang dianggap aneh. Perkembangan ini meningkat pada abad pertengahan dimana yang disebut museum adalah tempat benda-benda pribadi milik pangeran, bangsawan, para pencipta seni dan budaya, para pencipta ilmu pengetahuan, dimana dari kumpulan benda (koleksi) yang ada mencerminkan apa yang khusus menjadi minat dan perhatian pemiliknya.

Benda-benda hasil seni rupa sendiri ditambah dengan benda-benda dari luar Eropa merupakan modal koleksi yang kelak akan menjadi dasar pertumbuhan museum-museum besar di Eropa. “Museum” ini jarang dibuka untuk masyarakat umum karena koleksinya menjadi ajang prestise dari pemiliknya dan biasanya hanya diperlihatkan kepada para kerabat atau orang-orang dekat. Museum juga pernah diartikan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan dalam karya tulis seorang sarjana. Ini terjadi di zaman ensiklopedis yaitu zaman sesudah Renaissance di Eropa Barat ditandai oleh kegiatan orang-orang untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan mereka tentang manusia, berbagai jenis flora maupun fauna serta tentang bumi dan jagat raya disekitarnya. Gejala berdirinya museum tampak pada akhir abad 18 seiring dengan perkembangan pengetahuan di Eropa. Negeri Belanda yang merupakan bagian dari Eropa dalam hal ini juga tidak ketinggalan dalam upaya mendirikan museum.

G.E. Rumphius

Perkembangan museum di Belanda sangat mempengaruhi perkembangan museum di Indonesia. Diawali oleh seorang pegawai VOC yang bernama G.E. Rumphius yang pada abad ke-17 telah memanfaatkan waktunya untuk menulis tentang Ambonsche Landbeschrijving yang antara lain memberikan gambaran tentang sejarah kesultanan Maluku, di samping penulisan tentang keberadaan kepulauan dan kependudukan. Memasuki abad ke-18 perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan baik pada masa VOC maupun Hindia-Belanda makin jelas dengan berdirinya lembaga-lembaga yang benar-benar kompeten, antara lain pada tanggal 24 April 1778 didirikan Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, lembaga tersebut berstatus lembaga setengah resmi dipimpin oleh dewan direksi. Pasal 3, dan 19 Statuten pendirian lembaga tersebut menyebutkan bahwa salah satu tugasnya adalah memelihara museum yang meliputi: pembukuan (boekreij); himpunan etnografis; himpunan kepurbakalaan; himpunan prehistori; himpunan keramik; himpunan muzikologis; himpunan numismatik, pening dan cap-cap; serta naskah-naskah (handschriften), termasuk perpustakaan.

Lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang penting bukan saja sebagai perkumpulan ilmiah, tetapi juga karena para anggota pengurusnya terdiri dari tokoh-tokoh penting dari lingkungan pemerintahan, perbankan dan perdagangan. Yang menarik dalam pasal 20 Statuten menyatakan bahwa benda yang telah menjadi himpunan museum atau Genootschap tidak boleh dipinjamkan dengan cara apapun kepada pihak ketiga dan anggota-anggota atau bukan anggota untuk dipakai atau disimpan, kecuali mengenai perbukuan dan himpunan naskah-naskah (handschiften) sepanjang peraturan membolehkan.

Pada waktu Inggris mengambil alih kekuasan dari Belanda, Raffles sendiri yang langsung mengepalai Batavia Society of Arts and Sciences. Jadi waktu inggris kegiatan perkumpulan itu tidak pernah berhenti, bahkan Raffles memberi tempat yang dekat dengan istana Gurbenur Jendral yaitu di sebelah Harmoni (Jl. Majapahit No. 3 sekarang).

Selama kolonial Inggris nama lembaga diubah menjadi “Literary Society”. Namun ketika kolonial Belanda berkuasa kembali pada nama semula yaitu “Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Watenschapen ” dan memusatkan perhatian pada ilmu kebudayaan, terutama ilmu bahasa, ilmu sosial, ilmu bangsa-bangsa, ilmu purbakala, dan ilmu sejarah. Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan alam mendorong berdirinya lembaga-lembaga lain. Di Batavia anggota lembaga bertambah terus, perhatian di bidang kebudayaan berkembang dan koleksi meningkat jumlahnya, sehingga gedung di Jl. Majapahit menjadi sempit. Pemerintah kolonial belanda membangun gedung baru di Jl. Merdeka Barat No. 12 pada tahun 1862. Karena lembaga tersebut sangat berjasa dalam penelitian ilmu pengetahuan maka pemerintah Belanda memberi gelar “Koninklijk Bataviaasche Genootschap Van Kunsten en Watenschapen”. Lembaga yang menempati gedung baru tersebut telah berbentuk museum kebudayaan yang besar dengan perpustakaan yang lengkap (sekarang Museum Nasional).

Sejak pendirian Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen untuk pengisian koleksi museumnya telah diprogramkan antara lain berasal dari koleksi benda-benda bersejarah dan kepurbakalaan baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Semangat itu telah mendorong untuk melakukan upaya pemeliharaan, penyelamatan, pengenalan bahkan penelitian terhadap peninggalan sejarah dan purbakala. Kehidupan kelembagaan tersebut sampai masa Pergerakan Nasional masih aktif bahkan setelah Perang Dunia I masyarakat setempat didukung Pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian terhadap pendirian museum di beberapa daerah di samping yang sudah berdiri di Batavia, seperti Lembaga Kebun Raya Bogor yang terus berkembang di Bogor. Von Koenigswald mendirikan Museum Zoologi di Bogor pada tahun 1894. Lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang bernama Radyapustaka (sekarang Museum Radyapustaka) didirikan di Solo pada tanggal 28 Oktober 1890, Museum Geologi didirikan di Bandung pada tanggal 16 Mei 1929, lembaga bernama Java Instituut didirikan di Yogyakarta tahun 1919 dan dalam perkembangannya pada tahun 1935 menjadi Museum Sonobudoyo. Mangkunegoro VII di Solo mendirikan Museum Mangkunegoro pada tahun 1918. Ir. H. Haclaine mengumpulkan benda purbakala di suatu bangunan yang sekarang dikenal dengan Museum Purbakala Trowulan pada tahun 1920. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Museum Herbarium di Bogor pada tahun 1941.

Di luar Pulau Jawa, atas prakarsa Dr.W.F.Y. Kroom (asisten residen Bali) dengan raja-raja, seniman dan pemuka masyarakat, didirikan suatu perkumpulan yang dilengkapi dengan museum yang dimulai pada tahun 1915 dan diresmikan sebagai Museum Bali pada tanggal 8 Desember 1932. Museum Rumah Adat Aceh didirikan di Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 1915, Museum Rumah Adat Baanjuang didirikan di Bukittinggi pada tahun 1933, Museum Simalungun didirikan di Sumatera Utara pada tahun 1938 atas prakarsa raja Simalungun.

Sesudah tahun 1945 setelah Indonesia merdeka keberadaan museum diabadikan pada pembangunan bangsa Indonesia. Para ahli bangsa Belanda yang aktif di museum dan lembaga-lembaga yang berdiri sebelum tahun 1945, masih diijinkan tinggal di Indonesia dan terus menjalankan tugasnya. Namun di samping para ahli bangsa Belanda, banyak juga ahli bangsa Indonesia yang menggeluti permuseuman yang berdiri sebelum tahun 1945 dengan kemampuan yang tidak kalah dengan bangsa Belanda.

Memburuknya hubungan Belanda dan Indonesia akibat sengketa Papua Barat mengakibatkan orang-orang Belanda meninggalkan Indonesia dan termasuk orang-orang pendukung lembaga tersebut. Sejak itu terlihat proses Indonesianisasi terhadap berbagai hal yang berbau kolonial, termasuk pada tanggal 29 Februari 1950 Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang diganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). LKI membawahkan 2 instansi, yaitu museum dan perpustakaan. Pada tahun 1962 LKI menyerahkan museum dan perpustakaan kepada pemerintah, kemudian menjadi Museum Pusat beserta perpustakaannya. Periode 1962-1967 merupakan masa sulit bagi upaya untuk perencanaan medirikan Museum Nasional dari sudut profesionalitas, karena dukungan keuangan dari perusahaan Belanda sudah tidak ada lagi. Di tengah kesulitan tersebut, pada tahun 1957 pemerintah membentuk bagian Urusan Museum. Urusan Museum diganti menjadi Lembaga Urusan Museum-Museum Nasional pada tahun 1964, dan diubah menjadi Direktorat Museum pada tahun 1966. Pada tahun 1975, Direktorat Museum diubah menjadi Direktorat Permuseuman.

Pada tanggal 17 September 1962 LKI dibubarkan, Museum diserahkan pada pemerintah Indonesia dengan nama Museum Pusat di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Museum Pusat diganti namanya menjadi Museum Nasional pada tanggal 28 Mei 1979.

Penyerahan museum ke pemerintah pusat diikuti oleh museum-museum lainnya. Yayasan Museum Bali menyerahkan museum ke pemerintah pusat pada tanggal 5 Januari 1966 dan langsung di bawah pengawasan Direktorat Museum. Begitu pula dengan Museum Zoologi, Museum Herbarium dan museum lainnya di luar Pulau Jawa mulai diserahkan kepada pemerintah Indonesia sejak museum-museum diserahkan ke pemerintah pusat, museum semakin berkembang dan museum barupun bermunculan baik diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh yayasan-yayasan swasta.

Perubahan politik akibat gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa pada tagun 1998, telah mengubah tata negara Republik Indonesia. Perubahan ini memberikan dampak terhadap permuseuman di Indonesia. Direktorat Permuseuman diubah menjadi Direktorat Sejarah dan Museum di bawah Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2000. Pada tahun 2001, Direktorat Sejarah dan Museum diubah menjadi Direktorat Permuseuman. Susunan organisasi diubah menjadi Direktorat Purbakala dan Permuseuman di bawah Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Pada tahun 2002. Direktorat Purbakala dan Permuseuman diubah menjadi Asdep Purbakala dan Permuseuman pada tahun 2004. Akhirnya pada tahun 2005, dibentuk kembali Direktorat Museum di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

 
Penulis: Tim Direktorat Museum
Sumber: http://www.museum-indonesia.net/

Transformasi Pengelolaan Museum

Author: Hemat Dwi Nuryanto
Kompas, Kamis, 12 Agustus 2010

PEMERINTAH bertekad menjadikan 2010 sebagai warsa kunjungan museum. Sayangnya ada ganjalan serius dibalik tekad tersebut, yang terkait dengan kondisi aktual museum di negeri ini. Gerakan Nasional Cinta Museum yang dicanangkan pemerintah seolah bertepuk sebelah tangan. Karena para pengelola museum di negeri ini kebanyakan kurang kreatif dan inovatif dalam hal layout obyek atau koleksi museum. Begitu juga masih minimalis dalam hal sistem informasi terhadap koleksi yang dimiliki. Akibatnya, image museum tetap saja usang, membosankan, dan kurang atraktif. Eksistensi museum belum mampu mencuatkan nilai-nilai koleksi yang ters impan kepada publik. Pentingnya mentransformasikan sistem pengelolaan dan SDM museum. Agar lebih adaptif dengan perkembangan jaman dan kompatibel dengan industri pariwisata global. Sistem pengelolaan museum harus bisa mengemas koleksi sehingga bisa mendongkrak segmentasi pasar, promosi serta nilai estetika dan ilmiahnya. 

Langkah transformasi yang penting disegerakan adalah menyangkut sistem pengelolaan museum yang berbasis konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pentingnya mengembangkan sistem informasi museum atau e-Museum yang menarik dan mampu merasuki jejaring sosial internet. Transformasi sistem tersebut akan menunjang profesionalitas bagi edukator (programmer) dan  kehumasan (public relation) museum. Selain itu sistem informasi yang andal akan menjadikan museum sebagai destinasi yang sangat potensial. Transformasi pengelolaan museum tentu saja tidak mengurangi atau menggangu fungsi dasar museum dalam konteks Museologi. Yang mencakup penelitian, konservasi atau pelestarian serta komunikasi yang merupakan aspek mediasi dengan masyarakat. Fungsi dasar tersebut menempatkan museum sebagai lembaga non-profit yang bertugas menyimpan, merawat, meneliti dan memamerkan koleksi. Tetapi pada era gelombang keempat sekarang ini yang ditandai dengan pertumbuhan industri kreatif yang luar biasa pesatnya, menempatkan museum sebagai pusat industri budaya. Juga merupakan tempat yang sangat ampuh sebagai sarana kontemplatif dan pemicu lahirnya daya dan karya kreatif. Sehingga makna yang terdalam dari museum bisa terwujud, yakni positioning museum sebagai inspirator dan motivator bagi warga bangsa dalam mengarungi persaingan global.

Sebaiknya sistem informasi museum tidak sekedar berbentuk website atau situs internet yang bersifat database ilmiah semata. Tetapi merupakan sistem informasi yang cerdas berbasis geospasial dan bisa merasuki jejaring sosial dengan tampilan yang menarik. Selama ini sudah cukup banyak website yang menyediakan informasi tentang museum seperti contohnya bidang arkeologi. Website arkeologi tersebut diantaranya ada yang menyediakan informasi secara gratis tetapi ada juga yang diharuskan menjadi anggota dengan persyaratan tertentu dan dikenai biaya. Konten yang disediakan dapat meliputi objek-objek arkeologi, foto, jurnal, peta sitrus,dan lain-lain. Jenis data atau informasi yang akan ditampilkan dapat berupa  teks, suara, video, gambar,  maupun gabungan keseluruhan jenis data tersebut yang lebih dikenal dengan istilah multimedia. Kebanyakan website museum ditampilkan dalam halaman yang bersifat statis.  Agar lebih menarik dan berbobot harus dibuat halaman yang kontennya bersifat dinamis. Yang disupport dengan multimedia dan memakai aplikasi yang bersifat GIS ( Geographical Information System ).


Transformasi pengelolaan museum akan menjadikan museum yang modern. Yang bisa memanjakan pengunjung menikmati fasilitas ruang pamer yang atraktif dan bisa memvisualisasikan imajinasi mengenai obyek tertentu. Konten koleksi museum tersaji dalam bentuk data spasial dan smart map hasil intepretasi dari metode GIS. Dengan menggunakan sistem GIS maka musem arkeologi bisa memenuhi kebutuhan konten arkeologi secara baik. Begitu juga dengan proyek-proyek arkeologi dan peta situs purbakala dapat terpenuhi secara paripurna. Pada saat ini sistem informasi museum yang sangat ideal yang patut dicontoh adalah milik Smithsonian. Kita bisa berselancar dalam situs Smithsonian yang spektrummya sangat luas dan beragam serta disajikan secara menarik. Berbagai macam peradaban yang pernah ada di bumi, fenomena alam, proses inovasi, semuanya ada dalam koleksi Smithsonian. Kita juga bisa napak tilas proses kreatif atau inovatif yang terkait tentang inventing yang berkontribusi terhadap kemajuan dunia. Napak tilas tersebut sangat penting untuk merangsang daya pikir bagi pelajar  mengenai bagaimana para penemu atau inovator kelas dunia bekerja. Semua itu tersaji dalam sistem informasi yang sangat paripurna dan mudah diakses oleh warga dunia. Dari museum aerospace yang menampilkan berbagai macam pesawat ruang angkasa hingga fenomena gunung berapi yang ada di bumi semua tersaji secara apik. Sekedar catatan Smithsonian American Art Museum selama ini mampu menggugah kreativitas warga Amerika. Koleksi karya seni di semua media yang membentang lebih dari tiga abad tersebut merupakan wahana yang sangat ideal untuk menstimulir kapasitas otak kanan warga Amerika dan warga dunia. Wahana diatas juga sangat strategis untuk proses pendidikan di perguruan tinggi terkemuka seperti Massachusetts College of Art, Institut Seni Boston di Lesley College, Sekolah Museum of Fine Arts, Boston dan Universitas  Harvard, Princeton dan Yale.


Smithsonian juga telah menggunakan aplikasi Google Earth untuk menunjang misinya.  Antara lain merancang Global Volcanism Program yang memanfaatkan Google Earth sebagai sistem informasi gunung berapi yang ada di seluruh dunia dengan profil dan keunikannya masing-masing. Dengan itu kita bisa melihat perbedaan puncak gunung berapi dengan citra satelit. Berkat proyek Smithsonian tersebut warga dunia bisa melihat profil dan panorama eksotik dari gunung berapi yang ada di kepulauan Nusantara seperti gunung Krakatau, Gede-Pangrango, Bromo, Merapi dan lain-lainnya. Rancangan diatas akan membuahkan semacam BI (business intelligence) museum dan sistem destinasi yang baik. Sistem informasi museum dan destinasi tersebut bisa mengkondisikan image yang dapat didekati hingga ketinggian ratusan meter.  Analog dengan program diatas, mestinya Museum Geologi Bandung bisa merancang sistem informasi yang lebih lengkap. Yang dilengkapi dengan berbagai teknik koneksi data. Dengan demikian kita tidak hanya merasakan efek terbang berkat teknologi Google Earth. Namun juga bisa terhubung  dengan berbagai knowledge management dan data base yang ada di seluruh dunia.

*) HEMAT DWI NURYANTO, Chairman Zamrud Technology, Alumnus UPS Toulouse Prancis

Ekspedisi Lengguru-Kaimana 2010

Penelitian Harus Terbuka : Museum Geologi Ikuti Ekspedisi Ilmiah Lengguru-Kaimana 2010

Kompas Jawa Barat, Jumat, 27 Agustus 2010 – Penelitian bersama lembaga pendidikan dan penelitian asing berpotensi memperkaya sumber informasi ilmu pengetahuan nasional. Namun, harus ditekankan bahwa hasil penelitian bersifat terbuka dan tidak bisa menjadi hak milik pribadi pihak tertentu.

“Kontribusi penelitian dengan pihak asing diharapkan memberikan data tambahan bagi peneliti nasional untuk melakukan penelitian lanjutan,” ujar Kepala Museum Geologi Yunus Kusumabrata, Kamis (26/8) di Bandung.

Yunus mencontohkan keikutsertaan Museum Geologi dalam Ekspedisi Ilmiah Lengguru-Kaimana 2010 yang akan berlangsung 12 Oktober-13 November. Ekspedisi yang diprakarsai Institut de Recherche pour le Developpement Perancis ini akan meneliti dan menginventarisasi keanekaragaman hayati di wilayah Lengguru, Papua. Penelitian itu meliputi populasi ikan pelangi, studi tentang evolusi struktur karst, dan evolusi makhluk hidup.
Sebelumnya, Museum Geologi pernah bekerja sama dengan Pemerintah Jepang terkait renovasi dan penataan museum serta kerja sama dengan University of Wollongong, Australia, dalam penelitian gajah purba.

Dengan aktif dalam ekspedisi ini Yunus meyakini ada manfaat yang bisa didapat Museum Geologi serta enam lembaga penelitian dan perguruan tinggi lain. Khusus bagi Museum Geologi, ia mencontohkan aktivitas penelitian ikan dari berbagai zaman di beberapa danau yang sudah kering di Lengguru. Ia berharap metode pengumpulan data dan penelitian itu bisa dimanfaatkan Museum Geologi untuk penelitian serupa selanjutnya.

Menurut Yunus, saat ini Museum Geologi memiliki sekitar 30 fosil ikan beragam usia dari Jawa atau Sumatera. Beberapa belum terdata dengan baik karena minimnya pemahaman metode penelitian. Ia berharap dua wakil Museum Geologi di Ekspedisi Lengguru, yaitu ahli vertebrata, Sinung Baskoro, dan ahli moluska, Unggul, bisa mendapatkan pengetahuan baru.
“Kita tidak usah malu belajar pada mereka yang saat ini memiliki kapasitas keilmuan dan kemampuan dana lebih baik,” ujarnya.

Pengalaman

Geolog Institut Teknologi Bandung, Budi Brahmantyo, mengatakan, kerja sama dengan pihak asing bisa memberikan pengalaman dan tambahan data ilmu pengetahuan baru. Ekspedisi Lengguru bisa memberikan pelajaran dan pemahaman baru tentang struktur karst di wilayah timur Indonesia. Hal itu merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan dengan baik karena sering kali peneliti Indonesia masih terbentur dana. Pemerintah Indonesia kerap tidak bersemangat membiayai penelitian ilmiah dengan alasan biaya yang tinggi.
Akan tetapi, wakil ITB dalam Ekspedisi Ilmiah Lengguru-Kaimana 2010 ini menyatakan, sejak awal Pemerintah Indonesia harus mengatur hasil penelitian. Harus ada ketegasan untuk menentukan hasil penelitian ini tidak boleh menjadi hak milik pribadi.


“Saya kira penelitian dengan pihak asing harus terus ditingkatkan. Namun, penekanan bahwa hasil penelitian adalah sumber yang terbuka bagi semua orang juga harus diutamakan,” kata Budi yang bersama hidrogeolog ITB, Erwin Irawan, akan meneliti struktur karst di Lengguru. (CHE)

Fosil


Apakah fosil itu?


Fosil berasal dari bahasa Latin fossilis. Kata fossilis merujuk pada setiap benda yang didapat dari menggali tanah. Kata fosil mulai dipakai dalam geologi pada abad keenambelas. Pada masa itu yang disebut fosil meliputi mineral, artefak, dan benda aneh lainnya yang didapat dari dalam tanah. Saat ini pengertian fosil dibatasi pada sisa-sisa mahluk hidup (hewan, tumbuhan, manusia) yang telah terawetkan di dalam batuan. Ada dua macam fosil, yaitu fosil tubuh dan fosil jejak. Pada fosil tubuh yang terawetkan adalah tubuh organisma secara keseluruhan dan mengalami proses fosilisasi; sedangkan pada fosil jejak yang terawetkan adalah bekas-bekas suatu organisma seperti jejak kaki, jejak liang, atau jejak tumbuhan.


Mengapa kita mempelajari fosil?


Sudah sejak zaman kuno manusia mengenal dan mengoleksi fosil. Ketika itu fosil dianggap berharga karena dianggap mampu menyembuhkan orang sakit, mengusir arwah jahat, bahkan meminta jodoh. Tidak ada, atau setidaknya belum ada, yang mengetahui bahwa fosil adalah sisa mahluk hidup. Pada zaman modern barulah diketahui bahwa fosil merupakan sisa mahluk hidup dan keberadaannya dapat dimanfaatkan untuk ilmu pengetahuan. Dari fosil kita dapat membuat perkiraan tentang kehidupan masa lampau (lingkungan purba), atau mengetahui bentuk-bentuk awal suatu mahluk hidup (evolusi). Fosil juga dapat memberikan informasi tentang pola makan (paleodiet), dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di bagian tentang kegunaan fosil.


Apa kegunaan fosil?


Ada beberapa kegunaan fosil, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun kepentingan ekonomis. Dari segi ilmu pengetahuan fosil mengandung berbagai informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui bentuk-bentuk kehidupan di masa lampau dan lingkungan hidup tempat mahluk-mahluk purba ini pernah hidup. Salah satu bidang ilmu pengetahuan yang ada kaitannya dengan fosil adalah taksonomi. Taksonomi adalah ilmu yang mempelajari hubungan kekerabatan antarmahluk hidup baik yang telah punah maupun yang masih ada


1. dari segi taksonomi : fosil mengandung informasi morfologis sehingga ilmuwan dapat mengenal dan memberinya nama serta mengtahui hubungannya dengan organisma lain berdasarkan morfologi tersebut.


2. dari segi etiologi (ilmu tentang perilaku) : fosil memberi informasi tentng cara hidup suatu organisma yang dulu pernah hidup dan sekarang telah punah.


3. dari segi evolusi : fosil memberi informasi tentang proses evolusi yang terjadi di Bumi.


4. dari segi ekologi : fosil memberi informasi dan pemahaman tentang sifat dan perkembangan ekosistem dan tentang interaksi antara hewan dan tumbuhan dengan lingkungannya di masa purba.


5. dari segi lingkungan : organisma tertentu distribusi dan keragamannya terbatas pada lingkungan tertentu (disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan). Keadaan lingkungan purba seperti salinitas, suhu, dan tingkat oksigen dapat diketahui melalui perbandingan antara organisma hidup dengan fosil.


6. segi kimiawi : susunan biokomia tubuh organisma yang satu berbeda dengan organisma lain dan melalui studi isotopik dapat diketahui suhu dan salinitas purba tempat organisma tersebut pernah hidup.


7. segi sedimentologis : fosil biasanya ditemukan berjenjang sesuai dengan lapisan pengendapan. Berdasarkan hal ini dapat diketahui proses sedimentasi yang telah terjadi di masa purba.


8. segi diagenetik : fosil memberi informasi tentang proses yang terjadi dalam sekuen sedimen yang menyertai kematian, proses terkuburnya organisma sampai pada saat penemuan organisma yang telah memfosil tersebut.


9. segi stratigrafi : fosil dapat memandu kolom stratigrafi yang ditentukan oleh batas waktu (time boundaries).


10. segi susunan pengendapan (way up) : urut-urutan sedimen dikenali melalui fosil yang ada di tiap lapisan umur sedimen. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa pengendapan terjadi dari bawah ke atas.


Mengenang letusan Krakatau

Hari ini, 127 tahun yang lalu alam menunjukkan kekuatannya. Kita merenung sejenak untuk bercermin betapa tidak berdayanya diri kita di hadapan kemahakuasaanNYA.

Krakatau sebelum letusan 1883 (http://www.geocities.com/)

Letusan besar Krakatau terjadi antara tanggal 26 dan 27 Agustus 1883. Puncaknya terjadi pada pukul 10.22 GMT tanggal 27 Agustus 1883, mengakibatkan runtuhnya sebagian besar badan gunung tersebut. Dua pertiga badan Krakatau lenyap. Kombinasi letusan dahsyat dan runtuhhnya gunung inilah yang mengakibatkan timbulnya gelombang tsunami yang menimbulkan kehancuran di sekitar Selat Sunda. Gelombang tsunami ini demikian kuatnya sehingga bongkah koral seberat 600 ton terlempar ke pantai, dan sebuah kapal perang hanyut hingga 3 km ke pedalaman serta terdampar pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut. Debu piroklastik hanyut hingga 40 km dari tempat kejadian, dan dentuman letusan terakhir terdengar hingga jarak 4500 km! Sebelum letusan, ketinggian Pulau Krakatau adalah 450 m di atas permukaan laut, dan setelah letusan 250 m tinggi pulau ada di bawah permukaan laut.

Tsunami raksasa yang diakibatkan oleh letusan Krakatau pada tanggal 26 Agustus 1883 mencapai tinggi 37 m, dan mengahancurkan 295 desa dan kota di Selat Sunda, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan. Korban tenggelam mencapai lebih daripada 36.000 jiwa. Tsunami ini tercatat hingga mencapai seluruh Pasifik.

Tsunami mencapai desa-desa terdekat di Sumatera sekitar satu jam setelah terjadinya letusan, begitu juga dengan pantai barat Pulau Jawa. Di Anyer gelombang mencapai ketinggian 10 m, sedangkan di Merak mencapai 35 m. Dua setengah jam kemudian tsunami dilaporkan mencapai Batavia (Jakarta) dengan ketinggian 2,4 m; tsunami sampai ke Surabaya dalam jangka waktu 11,9 jam, namun di bagian timur Jawa ini tingginya hanya 0,2 m.

Sumber: http://www.geocities.com/; http://www.earlham.edu/

Fungsi perkakas prasejarah (5)

Kesimpulan
 
Subsistensi manusia prasejarah sangat tergantung pada sumberdaya-sumberdaya alam dan eksploitasinya terhadap lingkungan, baik dia memproduksi makanan ataupun tidak.
Manusia terus mengembangkan kebudayaan dan peradaban untuk mempermudah hidupnya. Penyesuaian demi penyesuaian terus dilakukan manusia terhadap alam agar dia tidak sepenuhnya bergantung pada alam, dan dengan demikian dia lebih dapat bertahan hidup. Berkenaan dengan hal ini Fagan (1975) menyatakan,

    They [manusia prasejarah] maintain an equilibrium with other animals and plants in the system, an equilibrium which is, however, subject to constant readjustments as all elements in the system change.


Dari pernyataan di atas memang tak dapat dipungkiri bahwa manusia selalu berusaha menciptakan keseimbangan dengan alam dan perubahan-perubahan yang terjadi di alam. Peralihan aktivitas subsistensi dari berburu dan meramu menjadi usaha membudidayakan tumbuhan dan binatang adalah juga upaya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di alam. Kebutuhan akan budi daya tumbuhan dan binatang kemungkinan disebabkan oleh semakin menipisnya populasi hewan buruan. Berkembangnya peralatan juga dapat menjadi bukti penyesuaian manusia terhadap lingkungannya. Semakin maju peradaban semakin canggih pula alat yang diciptakan. Dengan demikian semakin maju peradaban akan semakin sedikit penyesuaian fisik yang terjadi. Sebailknya, penyesuaian kultural akan semakin tinggi intensitasnya.


Semakin berkembangnya peralatan pada masa prasejarah, baik bentuknya maupun fungsinya mengindikasikan bahwa manusia prasejarah mampu memanfaatkan lingkungannya secara efektif, dalam arti semakin banyak sumberdaya alam yang didayagunakannya dengan memakai peralatan tertentu yang sesuai dengan keperluan. 

(JM/14/12/00)


DAFTAR PUSTAKA

Bunn, Henry T. 1991 A Taphonomic Perspective on the Archaeology of Human Origins, Annu. Rev. Anthropol., 20 : 433-67.

Ember, Carol R. and Ember, Melvin 1985 Anthropology, Prentice Hall, New Jersey.

Fagan. Brian M. 1975 In The Beginning : An Introduction to Archaeology, 2nd edition, Little. Brown and Company, Toronto.

Gillin, John (t.t.) The Ways of Men : An Introduction to Anthropology, Appleton-Century-Crofts, New York.

Haviland, William A. 1988 Antropologi, jilid I (terj.), Penerbit Erlangga, Jakarta.

Hoebel, E. Adamson 1958 Man in the Primitive World : An Introduction to Anthropology, 2nd edition, McGraw-Hill Book Company Inc., New York.

Keesing, Roger M 1981 Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer, edisi kedua (terj.), Penerbit Erlangga, Jakarta.

Kennedy, Kenneth A.R. 1980 Prehistoric Skeletal Record of Man in South Asia, Annu. Rev. Anthropol. 9 : 391-432.

Orlove, Benjamin S. 1980 Ecological Anthropology, Annu. Rev. Anthropol. 9 : 235-73.

Pope, Geoffrey 1984 Antropologi Biologi, Rajawali, Jakarta.

Renfrew, Colin and Bahn, Paul 1996 Archaeology Theories, Methods and Practice, 2nd edition, Thames and Hudson Ltd., London.

Fungsi perkakas prasejarah (4)

Perkembangan bentuk dan fungsi alat

 
Perubahan lingkungan ternyata berpengaruh pada bentuk aneka peralatan yang dipakai dalam rangka subsistensi sehingga dapat dikatakan bahwa berkembangnya peralatan merupakan salah satu bukti penyesuaian kultural manusia prasejarah terhadap lingkungannya. Haviland (1988) mengatakan bahwa permulaan penggunaan alat agaknya adalah akibat adaptasi lingkungan hutan yang berubah menjadi padang rumput. Dijelaskannya bahwa hominid yang dulu hidup di hutan lebat mempunyai banyak sumber makanan sekaligus tempat berlindung dari binatang buas. Dengan berubahnya iklim pada zaman purba maka hutan lebat menjadi padang rumput dan para hominid ini menjadi terbuka terhadap bahaya karena praktis tidak ada lagi perlindungan bagi mereka. Untuk mengatasi hal ini mereka membuat alat yang awalnya berupa tongkat untuk menghalau dan batu untuk melempari binatang yang mengganggu.
Contoh lain, pada masa glasial kurang lebih 11.500 tahun yang lalu para pemburu Amerika purba mempunyai spesialisasi berburu hewan-hewan besar, khususnya gajah purba yang pada waktu itu jumlahnya melimpah. Para pemburu ini memakai alat penusuk atau pelempar yang dipasang pada semacam lembing untuk membantai binatang buruannya. Ketika terjadi perubahan iklim menjelang 10.000 tahun yang lalu gajah purba semakim berukurang hingga akhirnya punah. Kepunahan binatang buruan ini tidak lalu mengakibatkan para pemburu kehilangan sumber bahan makanan. Mereka lalu mengalihkan aktivitas perburuannya pada bison yang jumlahnya masih melimpah dan relatif dapat bertahan terhadap iklim baru. Alat yang digunakan untuk berburu bison tentu saja tidak sama dengan alat yang dipakai untuk berburu gajah purba. Alat dimaksud berupa sebentuk pisau berbentuk cekung yang oleh para ahli disebut sebagai alat penusuk Folsom (Fagan, 1975; Haviland, 1988).

Alat penusuk Folsom (www.arrowheadology.com)


Pada zaman Neolitikum terjadi perubahan besar dalam cara memperoleh pangan. Manusia prasejarah pada waktu itu telah mengembangkan cara hidup berdasarkan pertanian dan pemeliharaan hewan ternak (Haviland, 1988). Bukti-bukti adanya pembudidayaan hewan dan tumbuhan ini diketahui dari sisa-sisa tumbuhan dan hewan di suatu situs arkeologis. Tanaman-tanaman yang telah dibudidayakan biasanya mempunyai tangkai yang lebih kuat dibandingkan dengan tanaman liarnya (Haviland, 1988). Sedangkan pada hewan yang telah dibudidayakan akan terjadi perubahan pada rangka, gigi geligi, atau tanduknya. Bukti-bukti lain yang mendukung hal-hal di atas adalah ditemukannya perkakas atau peralatan untuk panen dan penggilingan untuk memroses biji-bijian menjadi tepung, seperti yang ditemukan di Jarmo (Iran) dan Jericho (Jordania) (Haviland, 1988).

Salah satu situs di Jericho (www.wikipedia.com)


Alat-alat untuk memanen umumnya terbuat dari kayu atau tulang yang dipasangi batuapi bergigi (Haviland, 1988).  Sedangkan untuk mengolah padi digunakan lumpang dan penumbuk. Pada masa itu berkembang pula teknologi pembuatan tembikar untuk bejana dan wadah. Wadah-wadah ini diketahui digunakan untuk menyimpan biji-bijian, baik untuk keperluan konsumsi maupun untuk benih. Pengolahan makanan dengan cara merebus ataumemanggang dalam bejana tembikar juga sudah dikenal, dan ini terlihat dari sisa-sisa makanan yang gosong di dasar bejana tersebut.

Fungsi perkakas prasejarah (3)

Bukti-bukti diet prasejarah
 
    Rekonstruksi lengkap tentang diet prasejarah diperoleh dari sisa-sisa makanan di dalam perut mayat manusia prasejarah (jika mayat tersebut dimumikan seperti halnya pada beberapa kebudayaan Indian Amerika) dan dari kotoran manusia yang ditemukan di gua-gua kering dan situs-situs tempat tinggal mereka. Selain itu, bukti-bukti lain didapat dari tulang-tulang hewan yang telah disembelih untuk dimakan dagingnya ataupun diambil sumsumnya. Hewan-hewan buruan ini ada yang dibunuh di ladang perburuan dan bangkainya dibawa ke pemukiman. Ada pula yang dibawa ke tempat tinggal dalam keadaan masih hidup lalu disembelih di situ. Hampir semua bagian hewan dimanfaatkan : dagingnya tentu dimakan, ototnya dibuat tali, kulitnya dibuat pakaian, wadah, atau “rumah”. Tulang-tulang panjangnya dibelah dan diambil sumsumnya, beberapa diantaranya dibuat alat seperti mata panah, ujung harpun atau jenis alat untuk keperluan menguliti.
Palinologi (ilmu tentang serbuk sari) juga dapat mendukung dan menjadi sumber data bagi bukti-bukti subsistensi prasejarah. Melalui palinologi dapat diketahui tanaman apa saja yang tumbuh di lingkungan tempat hidup manusia prasejarah sehingga dengan demikian dapat diperkirakan sumber diet manusia prasejarah tersebut.

Penggunaan alat berkaitan dengan aktivitas subsistensi
    Manusia makan untuk hidup. Mengumpul dan meramu merupakan teknik yang paling sederhana dalam aktivitas mencari makan. “Alat” yang digunakan hanyalah lengan untuk mengangkut bahan maka yang terkumpul, kemudian tangan untuk memasukkan makanan ke mulut (Hoebel, 1958). Berbeda dengan hewan yang dapat mempergunakan alat tertentu untuk keperluan subsistensi, manusia tidak hanya mampu menggunakan alat tetapi juga menciptakan alat dan mengembangkan kebudayaan, dan sampai titik tertentu manusia dipengaruhi dan tergantung pada kebudayaan tersebut.
    Alat-alat yang diciptakan manusia tidak terbatas pada satu macam alat untuk satu macam keperluan. Satu alat dapat dipakai untuk berbagai keperluan, seperti memotong, menusuk, atau menyerut. Di samping itu manusia juga mengembangkan bentuk-bentuk alat sesuai dengan fungsi alat itu sehingga akhirnya ada alat tertentu yang dikhususkan untuk kegiatan tertentu. Misalnya, untuk menyerut diciptakan alat yang lebih halus dan dikerjakan dengan sangat cermat. Keanekaragaman alat ini juga memungkinkan manusia untuk mendapatkan aneka makanan dari berbagai sumber makanan sehingga terjadi diversifikasi pangan. Dengan kata lain, manusia bisa bertahan hidup karena dia tidak terspesialisasi pada satu aktivitas subsistensi tertentu. Hal ini membuatnya mampu mengatasi hambatan-hambatan dan gangguan yang disebabkan oleh alam.
    Berbagai macam batu, kayu, dan tulang digunakan manusia pada awal sejarahnya sebagai alat untuk mempermudah aktivitasnya. Manusia prasejarah berhasil membentuk batu menjadi alat yang disesuaikan dengan kebutuhan, dan dengan berbagai teknik mereka melakukan setiap kemungkinan dalam membentuk batu tersebut menjadi alat. Bentuk dasar yang diperoleh dalam pembuatan alat adalah dengan cara memotong dan menetak dengan menggunakan batu lain sampai dicapai bentuk yang diinginkan. Jenis batu yang dipakai biasanya berada di sekitar pemukiman mereka.
    Jenis alat atau piranti lain yang ditemukan dan diduga digunakan oleh manusia prasejarah adalah alat dari tulang, tanduk, dan kayu. Di daerah-daerah berhutan yang banyak timbernya kecenderungan pemakaian kayu sebagai perkakas lebih besar daripada pemakaian tulang atau tanduk.